Jember, Gerbang Indonesia – Peziarah Haul Habib Sholeh bin Muhsin Al Hamid, ke-47, tumpah ruah. Haul wali qutub itu, berlangsung di Desa Tanggul Kulon Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember, pada Minggu (7/5/2023).
Menurut informasi yang terhimpun, tak kurang dari 35 ribu peziarah, hadir mengikuti Haul Habib yang dikenal memiliki karomah itu. Para peziarah datang dari berbagai penjuru Indonesia.
Seperti Ahmad Fatoni Hadi, peziarah asal Desa Wonorejo Kecamatan Jepara Kabupaten Jepara Provinsi Jawa Tengah mengatakan, berangkat menghadiri acara haul bersama rombongan 15 bus, pada hari Jumat (5/5/2023) sore.
“Kali ini, kami bersama rombongan menghadiri haul Habib Sholeh sudah tahun yang ke-13”, jelasnya.
Sedangkan menurut peziarah asal Jakarta, Habib Ali bin Toha Al Haddad, yang datang ke Jember sejak hari Rabu (2/5/2023) menjelaskan, bahwa dirinya telah mengenal Habib Sholeh, sejak masih hidup.
“Jadi, kali ini kami beserta jamaah sudah tahun yang ke-47 hadir dalam setiap haul Habib Soleh”, terangnya.
Jempolindo _ Sejarah Singkat Habib Sholeh
Lalu siapa sebenarnya Habib Sholeh ?
Mengutip Wikipedia, Meski namanya dinisbatkan pada nama Kecamatan Tanggil Kabupaten Jember, Jawa Timur, ia sebenarnya dilahirkan di desa Wadi ‘Amd, Hadramaut Yaman, pada 17 Jumadil Awal 1313 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1895 Masehi.
Ayahnya juga merupakan seorang ulama Wadi ‘Amd bernama Muhsin bin Ahmad al-Hamid, yang juga dikenal masyarakat sekitar dengan julukan al-Bakri al-Hamid, sedangkan ibunya adalah Aisyah dari keluarga al-‘Abud Ba ‘Umar dari kalangan klan masyaikh/non-habaib al-‘Amudi.
Masa kecilnya ia habiskan untuk menuntut ilmu agama. Guru utamanya dalam bidang ilmu Fiqih dan Tasawuf adalah ayahnya sendiri, Habib Muhsin bin Ahmad al-Hamid, sedangkan Al-Quran, ia pelajari dari Syekh Saíd Ba Mudhij, ulama kenamaan Wadi ‘Amd.
Jempolindo _ Hijrah ke Indonesia
Saat Habib Sholeh berusia 26 tahun, atau ketika itu bertepatan dengan tahun 1921 M, ia memutuskan berhijrah ke Indonesia bersama Syekh Fadhli Sholeh Salim bin Ahmad al-Asykari.
Perjalanan hijrah ini, membuatnya sempat singgah di Gujarat India, lalu berlabuh di Jakarta. Habib Sholeh sempat tinggal beberapa hari di Jakarta dan berkeliling mengunjungi para ulama sampai saudara sepupunya yang bernama Habib Muhsin bin Abdullah al-Hamid yang telah lebih dulu berhijrah meminta Habib Sholeh untuk mengunjungi kediamannya di Lumajang.
Selama di Lumajang, Habib Sholeh menggunakan waktunya untuk mempelajari bahasa dan budaya masyarakat setempat khususnya dalam berbahasa Jawa, Habib Sholeh juga kemudian menikah dengan warga Tempeh Lumajang, dan membangun rumah di sana. Habib Sholeh berdakwah keliling dari desa ke desa di Lumajang sampai 12 tahun lamanya sebelum akhirnya memutuskan pindah ke Tanggul.
Tidak ada yang mengetahui alasan pasti mengapa Habib Sholeh sampai membawa seluruh keluarganya pindah ke Tanggul Jember, namun keluarganya meyakini bahwa keputusannya berasal dari petunjuk Allah.
Sebelum akhirnya menjadi pendakwah di daerah baru tersebut, Habib Sholeh terlebih dahulu melaksanakan ‘uzlah/khalwat atau aktivitas menyepi/mengurung diri dengan beribadah sampai lebih dari 3 tahun lamanya.
Adalah Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf, seorang ulama terkemuka yang berdomisili di Gresik, yang kemudian memerintahkan Habib Sholeh untuk mengakhiri masa khalwat dan memintanya datang ke Gresik.
Perintah Haji
Sesampainya di Gresik, Habib Abu Bakar memberikan Habib Sholeh mandat dan ijazah dengan memakaikan jubah imamah dan sorban hijau sebagai penanda status kewalian quthb yang diembannya, sekaligus meminta Habib Sholeh untuk segera menunaikan ibadah haji.
Sepulangnya dari berhaji, Habib Sholeh memulai aktivitas dakwahnya dengan mendirikan mushola di kediamannya. Aktivitas pengajian juga mulai dilakukan biasanya selepas Ashar, mengkaji kitab khususnya kitab An-Nashaihud Dinniyah karya ulama Hadramaut Abdullah bin Alawi al-Haddad, yang ia sampaikan dalam bahasa masyarakat sekitar yakni bahasa Madura.
Habib Sholeh juga menghidupkan mushola dengan pembacaan dzikir dan wirid yang biasa diajarkan oleh kalangan ulama Hadramaut tempatnya berasal. Selain berdakwah, Habib Sholeh juga dikenal sebagai pedagang kain dan pakaian.
Beberapa tahun kemudian, Habib Sholeh mendapat hadiah sebidang tanah dari seorang pengusaha setempat bernama Haji Abdur Rasyid. Di atas tanah tersebut Habib Sholeh kemudian membangun masjid yang diberi nama Masjid Riyadus Shalihin dan kemudian mewakafkannya, letaknya tepat berada di sebelah selatan Stasiun Tanggul. Dakwah dan kegiatan keagamaan pun kian hidup setelah masjid ini berdiri.
Habib Sholeh wafat pada 8 Syawal 1396 H atau bertepatan pada tahun 1976 M, ada pula sumber lainnya yang mengatakan pada tanggal 9 Syawal 1396 dalam usia 83 tahun/81 tahun/86 tahun.
Habib Sholeh di kebumikan keesokan harinya setelah sholat Dzuhur di komplek Masjid Riyadhus Sholihin Tanggul, Jember. Hingga kini, Haul atau peringatan kewafatannya rutin diselenggarakan setiap tahun pada 10 Syawal dan selalu mendatangkan ribuan peziarah dari berbagai daerah khususnya Jember dan sekitarnya, segala bentuk aktivitas dakwah dan pengajian kini juga diteruskan oleh anak cucu keturunannya.(sf)