Reporter: Rudi Hartono
Medan | Gerbang Indonesia – Seperti biasa setiap Jum’at subuh, Mesjid Baitur Rahman yang berlokasi di Jalan Marelan VI, Pasar 2 Timur Lingkungan 24 Rengas Pulau, Medan Marelan, Kota Medan, selalu rutin melakukan pengajian. Al-Ustadz Antony Tanjung, SHI, Alumni Universitas Islam Negeri (UIS) Medan, merupakan pengisi tetap tausiyah Jum’at ba’da Subuh. Kali ini ustadz mengambil tema,”Sikap Tawadhu Dalam Sholat”. Hari Jum’at (24/12/21).
Tawadhu dalam kajian keislaman adalah prilaku manusia yang memiliki watak rendah hati, tidak sombong atau merendahkan diri agar tidak terlihat sombong. Tawadhu bukan hanya bicara tentang tatakrama saja, bahkan lebih dalam maknanya karena mengandung sikap bathin yang menjelma secara lahiriyah secara wajar dan bijaksana.
Tawadhu merupakan Akhlak terpuji karena sifat dasarnya adalah rendah hati tetapi bukan rendah diri. Setiap muslim di pandang perlu mencontoh prinsip ini menjadi suatu kebiasaan dalam kesehariannya.
Tawadhu merupakan sikap percaya diri, optimis, berani serta tidak merasa diri lebih baik dari orang lain sekalipun lebih banyak kelebihannya. Cerminan sikap tawadhu tercermin di Al-Qur’an Surat Al Furqon:63, yang artinya : ” Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang ialah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan”. (QS :Al Furqon :63).
Sikap shalafus shaleh juga mencerminkan kepribadian yang tawadhu. Para sahabat Nabi Sallallahu’alaihi Wassalam ketika masuk waktu sholat, mereka menggigil ketakutan. Meremang seluruh badan, pucat pasi wajahnya bahkan ada yang sudah merasa akan menghadapi sakratul maut. Zubair ra, Thalhah ra, Umar ra, Usman ra dan hampir seluruh sahabat ketika masuk mengerjakan sholat sikap mereka demikian.
Sikap ini menunjukkan bahwa pelaksanaan sholat bukan semata-mata melepas kewajiban perintah, tetapi lebih tinggi dari itu yaitu “penghambaan diri” dengan jalan merendahkan hati dan fikiran, fisik dan jiwa serta tunduk dihadapan sang Khalik Ilahi Rabbi penguasa langit dan bumi beserta diantara keduanya. Sikap inilah yang dinamakan tawadhu.
Selain itu perwujudan sikap tawadhu merupakan bagian dari rasa takut (khauf). Khauf dalam arti takutnya hamba kepada pencipta yang selalu merasa diawasi dan dinilai tindak tanduk baik ucapan maupun perbuatan ketika sholat. Umar bin Khattab ra, pada saat-saat tertentu ketika melaksanakan sholat ketika mendengar bacaan yang mengandung siksaan dan hukuman dari Allah bagi yang ingkar. Beliau tersungkur dan menangis terisak-isak bagaikan “dia”lah yang kena siksa atau ayat itu ditujukan pada dirinya.
Banyak tindakan sentimental mengharu biru ketika mereka melaksanakan “ibadah” yang merupakan perwujudan antara Kalam Allah yang merasuk segenap jiwa sampai ke aliran darah menjadi ketaatan yang kuat dan bermutu. Cerminan hidup mereka layaknya cerminan Al-Qur’an dan Al Hadits. Pelaksanaan perintah dijalankan bukan karena keterpaksaan tetapi karena sikap ketawadhu-an kepada Allah.
Mengapa kita harus mengucap istighfar ketika selesai sholat?. Padahal faktanya kita sedang melakukan ibadah menjauhi laranganNya dan melaksanakan perintahNya?.Alasan utama karena itu perintah Allah dan ada contoh pelaksanaannya dari Baginda Nabi SAW. Secara logika memang apa yang diperintahkan Allah itu berlawanan dengan akal sehat. Ibarat kita lagi sedekah tapi di suruh tobat.
Esensi dari hal tersebut adalah ibadah utama dan paling awal yang jadi pertanggungjawaban insan adalah sholat, ketika baik sholatnya maka baik pula amal lainnya. Ketika buruk sholatnya bahkan meninggalkan sama sekali, maka celakalah ia di akhirat. Makna lain dari perintah istighfar adalah mengurangi “kesalahan” insan karena masih “hubbud Dunya”, cinta dunia hingga masalah dunia masih terbawa dalam pelaksanaan sholat.
Komponen lain dalam melahirkan sikap tawadhu adalah sabar. Sabar dalam pengertian agama Islam berasal dari bahasa Arab, ” Al shabru yang artinya menahan diri. Dalam sholat diperlukan menahan diri dari segala cobaan, bisikan, ketergesaan, lamunan yang tidak layak dilakukan pada saat sholat. Ketika kita sholat dalam keadaan yang demikian, otomatis kita orang yang merugi dalam sholat dan di ancam masuk neraka “Wail”, neraka yang dikhususkan bagi orang yang lalai dalam sholat. “Perbaikilah sholat dan perbanyaklah sampai kita bosan untuk menghitungnya sebagai latihan kesabaran, keikhlasan hingga muncul sifat tawakal tu ‘alallah yang berakhir dengan sikap ketawadhu-an”,pungkasnya mengakhiri tausiyah di pagi subuh. (Rudi Hartono)